Sabtu, 04 April 2009

Gintung Lake Side



“Pagi hari itu berubah menjadi musibah yang di luar dugaan masyarakat Situ Gintung”


Pada tanggal 28 Maret 2009 sekitar pukul 13.30 WIB tepat satu hari setelah peristiwa tragedi Situ Gintung (Jum’at, 27 Maret 2009) telah menelan korban jiwa kurang lebih hampir 100 korban, korban diantaranya mengalami luka berat maupun ringan akibat tanggul penahan Danau Situ Gintung jebol dan menerjang perumahan di sekitar tanggul penahan, saya langsung menuju tempat kejadian tragedi Situ Gintung. Mulai dari rumah berangkat dengan menggunakan angkutan umum (Lebak bulus – Blok M) hanya dua angkutan umum yang menuju daerah terminal lebak bulus, biasanya lebih dari dua yang menuju Terminal Lebak Bulus (dikarenakan macet akibat Tragedi Situ Gintung banyak angkutan yang menuju arah ciputat tidak berani mengambil resiko). Dengan perasaan yang begitu penasaran akan tragedi yang banyak menelan korban jiwa itu, perlahan demi perlahan angkutan yang saya tumpangi hampir mendekati terminal lebak bulus. Pada akhirnya saya turun di Terminal Antar Kota – Antar Propinsi “Lebak Bulus” yang pada saat itu suasana yang macet total, aku melangkah dengan hati penuh tanya. Suasana jalan raya pada saat itu memang macet total dari arah setelah terminal lebak bulus menuju arah depan kampus Universitas Muhammadyah Jakarta (UMJ) Kampus UMJ cukup luas dan gedungnya terbagi-bagi ada yang di depan jalan raya ada juga yang masuk kedalam.


-----------------------------
Setelah sampai tepat di belakang kampus UMJ banyak bantuan yang berdatangan mulai dari bantuan A sampai antuan Z, dari kalangan pencinta alam, kemudian dari mahasiswa disekitar kampus UMJ sampai mahasiswa dari luar UMJ pun ikut membantu membuat tenda-tenda pertolongan untuk para korban bencana tragedi situ gintung. Bangunan sudah tidak terhitung jumlah yang rusak begitu juga dengan infrastruktur yang rata dengan tanah dan lumpur. Tim Sar wilayah Jakarta Selatan terus menyisir dan berenang ke kolam penampungan ikan atau biasa penduduk di wilayah sekitar menyebutnya dengan (empang) yang barangkali masih terdapat mayat yang terpendam dibawah lumpur atau tertindih suatu benda atau material bangunan. Ada juga beberapa Partai Politik yang turut serta membantu pencarian korban dan memberikan pertolongan baik sandang maupun papan. Tidak bisa disebutkan satu persatu namanya karena memang di sekitar tempat kejadian tepatnya di pinggir-pinggir jalan menuju tampat kejadian memang sudah di penuhi oleh tenda-tanda dari berbagai kalangan untuk membantu korban yang terkena musibah, baik itu makanan, minumam, pakaian hangat, dan selimut.


-------------------------------
Kemudian saya menuju ke depan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadyah Jakarta, memang keadaan disana sudah porak poranda bagai senjata pemusnah masal yang bisa disebut dengan “medium tsunami” yang menimpa wilayah di sekitar situ gintung. Buku-buku perkuliahan, meja dan bangku untuk perkuliahan yang biasa diduduki oleh mahasiswa kini tinggal kenangan yang diselimuti oleh air dan lumpur. Disana juga terdapat tempat penjagaan pos gedung yang sudah porak-poranda dan tepat disampingnya terdapat dua buah telpon koin atau telpon umum yang atapnya berwarna biru kemuda-mudan itu sudah hancur berantakan. Para petugas tim sar baik itu TNI, Tim SAR Jakarta Selatan, Resimen Mahasiswa, Polisi Pamong Praja, dan sejumlah masyarakat sekitar sibuk membersihkan sisa-sisa puing bangunan dan lumpur yang bercampur dengan tanah merah yang tebalnya sekitar 10 cm. Ada yang sibuk memotong batang pohon yang susah di tebang dengan golok atau tangan, oleh karena itu petugas menggunakan alat pemotong kayu atau gergaji mesin untuk memotong pohon yang menghalangi jalan tepat di depan Fakultas Kedokteran UMJ.


-------------------------------
Kemudian saya penasaran dengan perumahan padat penduduk yang tepat berada di pinggiran kali, akhirnya saya langsung menuju kesana dan setelah saya melihatnya dengan mata kepala sendiri, Subhannallah memang begitu dahsyatnya kekuatan Allah SWT sehingga yang tadinya perumahan padat penduduk saat ini hanya tinggal puing-puing bangunan yang menyisakan luka dihati para keluarga yang ditinggalkan. Saya melihat dari atas (posisi rumah penduduk yang berada di pinggiran kali tepat berada di bawah) rumah-rumah penduduk entah itu kontrakan, kost-kostan, atau rumah pribadi sudah menyisakan bangunannya saja sedangkan atap rumah sudah tidak terlihat. Jendela-jendela yang biasanya warga sekitar saling menyapa dengan tetangganya saat ini hanya menyisakan kain yang tersangkut dan daun-daun kelapa yang tersangkut di jendela rumah penduduk. Barang-barang perkakas rumah sudah berbaur dengan lumpur yang menutupi sebagian rumah penduduk di pinggiran kali. kemudian tempat penampungan air atau yang biasa disebut “Torren” alumunium sudah terbalik terbawa arus, entah milik siapa barang-barang tersebut (yang pasti milik penduduk sekitar).

-------------------------------
Penasaran itulah yang terlintas di pikiran aku saat melihat bangkai-bangkai rumah yang tak bertuan, untuk melihat lebih jelas kemudian aku melanjutkan penyisiranku untuk turun ke bawah ke rumah-rumah yang hanya menyisakan bongkahan tiang-tiang bangunan yang sudah rapuh tergerus oleh derasnya air Danau Situ Gintung. Disana terlihat dengan jelas begitu derasnya air sehingga rumah-rumah penduduk hanya meninggalkan bangunan-bangunan serta kusen-kusen beserta kaca saja yang lainnya habis di telan oleh air dan lumpur. Kemudian saya mendekati rumah yang terletak ditengah-tengah yang sebelum tragedi terjadi tempat itu adalah rumah padat penduduk hanya satu rumah yang masih utuh bangunannya tetapi atapnya memang sudah hilang terbawa arus kemudian disamping rumah tersebut sudah rata dengan lumpur… dan disampingnya terdapat motor yang (sebelumnya terendam lumpur, kemudian diangkat oleh warga dan diberdirikan). Beberapa motor warga juga ikut terbawa arus air yang deras dan terandam oleh lumpur, sehingga sangat sulit untuk mengangkat bangkai motor karena permukaan tanah yang tidak rata dan lumpur yang cukup licin dan dalam.

---------------------------------
Tak jauh dari bangunan rumah tak beratap tadi hanya beberapa langkah (sekitar sepuluh langkah itupun melewati petakan-petakan rumah yang hanya menyisakan bangunan kotak-kotak) terdapat rumah dan sepertinya saya tepat berada di belakang rumah tersebut kemudian terdapat lubang cukup besar (sekepala orang dewasa lebih besar sedikit) berada di belakang bangunan, saya melihat ke dalamnya ternyata memang benar di dalamnya terdapat kamar mandi dan perabotan dapur seperti rak-rak gelas dan piring yang sudah berantakan serta mesin cuci yang ditinggal pemiliknya, kompor gas, mesin penanak nasi atau “rice cooker” yang sudah dalam keadaan terbuka dan di dalamnya terdapat nasi yang sudah berlumuran lumpur. Dalam hatiku berkata nasi ini sebenarnya akan dimakan dengan lauk pauk pada waktu pagi hari oleh pemiliknya, tetapi Allah SWT berkata lain.


------------------------------------
Kemudian saya melanjutkan perjalanan menyisiri pinggiran kali yang medannya cukup sulit dilalui karena lumpur yang sangat tebal dan licin, jika salah melangkah maka akan tenggelam semata kaki. Perlahan demi perlahan saya melangkah dan melihat bangunan yang memang sudah rata dan menyisakan tiang-tiang besi rumah penduduk. Anak-anak kecil entah dari mana asalnya sibuk mencari ikan yang terdampar di lumpur atau di kolam air, mulai dari ikan patin, ikat sapu-sapu, ikan lele, dan ikan mujair. Kemudian saya melihat terdapat tulisan “dikontrakan” yang tersangkut di tiang bekas rumah penduduk. Memang di daerah tersebut banyak rumah-rumah yang di kontrakan atau di kost-kostkan.

-------------------------------------
Setelah itu saya melanjutkan penyisiran saat saya melihat dari kejauhan terdapat beberapa relawan berusaha untuk menggeser bongkahan jalan (sepertinya bongkahan bekas jembatan kecil yang terbuat dari beton) yang terhadang oleh pohon kelapa. Diperkirakan terdapat mayat yang terjepit dibalik bongkahan tersebut, karena baunya yang lumayan menyengat seperti bau bangkai tikus dan kadang-kadang hilang kemudian kadang-kadang tercium. Cukup lama mengangkatnya karena keterbatasan tenaga dan alat berat belum bisa masuk ke lokasi, karena memang sulit untuk masuk ke lokasi rumah penduduk. Setelah beberapa saat akhirnya bongkahan jalan kecil itu bisa disingkirkan dan ternyata masih ada lagi di balik itu, yaitu berupa kayu jati berukuran besar dan panjang tertutupi oleh tanah dan dahan-dahan pohon. Pada saat relawan berupaya menyingkirkan sedikit demi sedikit tanah yang berada di atas kayu jati secara tidak sengaja salah satu relawan melihat ular entah jenis ular apa (karena relflek) dan langsung ditangkap kemudian dilemparnya kearah belakang, sontak relawan yang lainnya kaget. Tapi untung yang di belakang tidak kena lemparan ular dari salah satu relawan. kemudian secara perlahan-lahan kayu jati tersebut bisa digeser sedikit demi sedikit dan mayat yang diperkirakan ada dibalik bongkahan tersebut ternyata belum juga diketemukan.



---------------------------------------
Setelah pencarian mayat tidak berhasil ditemukan, saya langsung menuju ke tempat masjid yang selamat dari amukan banjir. Memang benar masjid yang saya lihat masih berdiri tegak dan masih kokoh sedangkan rumah-rumah warga yang lainnya sudah rata dengan lumpur. Saya berusaha mengambil gambar dari depan masjid. Masjid yang bernama “Masjid JABALUR RAHMAN” dan ternyata masjid itu dibangun pada tanggal 26 Mei 2007 dan diresmikan oleh H. Teuku Abdullah Laksamana sebagai Dewan Pembina Masjid. Ternyata masjid tersebut sudah di bersihkan oleh warga dan dibantu oleh Fron Pembela Islam. Karpet-karpet warna merah bergambarkan masjid yang biasanya ada di dalam masjid menjadi alas untuk kita shalat, sekarang sudah bercampur dengan lumpur. Inilah salah satu kekuasaanya Allah SWT yang membuat manusia akan sadar dengan apa yang telah mereka perbuat di bumi Allah SWT. Dari jarak antara masjid dengan Tanggul penahan cukup dekat tetapi entah bagaimana Masjid Jabalur Rohman bisa bertahan dan hingga saat ini masih berdiri tegak dan kokoh, walaupun dindin dan tiangnya sudah kotor karena banjir dan lumpur.

-----------------------------------------
Semoga teman dan kawan seperjuangan serta orang tua, adik, kakak, saudara dan semua manusia ciptaan Allah SWT bisa selalu dalam lindungan Allah SWT, amin ya robbal alamin.

Kamis, 30 Oktober 2008

OTOT KAWAT TULANG BESI





OTOT KAWAT TULANG BESI

Kebijakan Pemerintah Tentang Konversi Minyak Tanah ke Gas”



Yang kita lihat adalah mengejar target itu sehingga berbagai persiapan tidak dilakukan secara cermat.” Tukas Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Sukmaningsih.”



Berbicara tentang konversi minyak tanah ke gas Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Sukmaningsih berpendapat kegagalan kebijakan konversi minyak tanah ke gas disebabkan oleh proses perencanaan yang tidak matang. Pemerintah, lanjutnya, terlalu terbebani oleh target waktu yang telah ditetapkan sehingga pelaksanaannya terkesan dipaksakan.

Gebrakan pemerintah melalui kebijakan konversi penggunaan bahan bakar minyak tanah menjadi gas ternyata belum berjalan mulus. Sebagian masyarakat menunjukkan sikap resisten mempertahankan hidup hanya untuk menggunakan minyak tanah sebagai bagian dari kelangsungan hidup. Sebagian lainnya menerima dengan pasrah tetapi harus dipusingkan dengan peralatan yang tidak memadai. Persoalan semakin pelik karena resistensi masyarakat justru terjadi bersamaan dengan penarikan minyak tanah dari pasaran. Hasilnya, masyarakat yang bersikukuh ingin menggunakan minyak tanah ‘dipaksa’ mengantri di tempat penjualan minyak tanah.

Bayangkan jika keseharian rakyat menengah kebawah dipaksa untuk memakai gas, salah satu contoh adalah Ibu Yena yang bertempat di daerah Kelurahan Gandaria Utara tepatnya di jalan Petogogan I, setiap harinya harus mencari minyak tanah untuk berjualan gorengan, “sulit mendapatkan minyak tanah, harganya pun menjadi lebih mahal dari biasanya, saya terpaksa merogoh kocek lebih dari biasanya yakni sekitar Rp 7000-8000 per liter, padahal biasanya hanya Rp 2500-3000 per liter” keluh Ibu Yena.

Sadar atau tidak, ibu-ibu atau masyarakat menengah kebawah yang setiap hari memakai minyak tanah itu telah menjadi korban atau dikorbankan oleh program pemerintah yang dipersiapkan sejak Juli 2006 yakni, konversi minyak tanah ke gas belum lagi akibat yang di timbulkan misalnya pengetahuan masyarakat terhadap pemakaian yang kurang paham sehingga menimbulkan sesuatu yang tidak seharusnya terjadi misalnya 'kebakaran'.

Untuk menyukseskan pemakaian elpiji, pemerintah menyiapkan tabung elpiji ukuran kecil yang harganya terjangkau oleh masyarakat. Jadi, elpijinya bukan pakai tabung yang besar kalau untuk masyarakat kecil, pemerintah menyiapkan tabung ukuran tiga kilogram. Ukuran tabung tiga kilogram ini sekitar Rp 12.000,00. Dalam perhitungannya, penggunaan elpiji ini jauh lebih murah ketimbang minyak tanah. Satu kilogram elpiji setara dengan 3 liter minyak tanah. Saat ini harga elpiji Rp 4.250,00/kg dan minyak tanah Rp 2.000 ,00 per liter. Dengan perkiraan yang matang tersebut pemerintah optimis dan yakin harga tersebut masih bisa terjangkau oleh masyarakat kecil.

Solusinya, menurut Sukma, pemerintah harus menata ulang kebijakan ini mulai dari tahap perencanaan. Pemerintah diharapkan jeli menyiapkan langkah-langkah antisipatif seperti sikap penolakan masyarakat. Pada tahap pelaksanaan, kebijakan ini juga harus dievaluasi secara periodik sehingga permasalahan-permasalahan yang muncul dapat segera diatasi. “Pada dasarnya mengubah suatu hal yang sudah membudaya itu memang tidak mudah, perlu strategi perencanaan yang matang,” ujar Sukma. (Ipin)