Kamis, 30 Oktober 2008

OTOT KAWAT TULANG BESI





OTOT KAWAT TULANG BESI

Kebijakan Pemerintah Tentang Konversi Minyak Tanah ke Gas”



Yang kita lihat adalah mengejar target itu sehingga berbagai persiapan tidak dilakukan secara cermat.” Tukas Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Sukmaningsih.”



Berbicara tentang konversi minyak tanah ke gas Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Sukmaningsih berpendapat kegagalan kebijakan konversi minyak tanah ke gas disebabkan oleh proses perencanaan yang tidak matang. Pemerintah, lanjutnya, terlalu terbebani oleh target waktu yang telah ditetapkan sehingga pelaksanaannya terkesan dipaksakan.

Gebrakan pemerintah melalui kebijakan konversi penggunaan bahan bakar minyak tanah menjadi gas ternyata belum berjalan mulus. Sebagian masyarakat menunjukkan sikap resisten mempertahankan hidup hanya untuk menggunakan minyak tanah sebagai bagian dari kelangsungan hidup. Sebagian lainnya menerima dengan pasrah tetapi harus dipusingkan dengan peralatan yang tidak memadai. Persoalan semakin pelik karena resistensi masyarakat justru terjadi bersamaan dengan penarikan minyak tanah dari pasaran. Hasilnya, masyarakat yang bersikukuh ingin menggunakan minyak tanah ‘dipaksa’ mengantri di tempat penjualan minyak tanah.

Bayangkan jika keseharian rakyat menengah kebawah dipaksa untuk memakai gas, salah satu contoh adalah Ibu Yena yang bertempat di daerah Kelurahan Gandaria Utara tepatnya di jalan Petogogan I, setiap harinya harus mencari minyak tanah untuk berjualan gorengan, “sulit mendapatkan minyak tanah, harganya pun menjadi lebih mahal dari biasanya, saya terpaksa merogoh kocek lebih dari biasanya yakni sekitar Rp 7000-8000 per liter, padahal biasanya hanya Rp 2500-3000 per liter” keluh Ibu Yena.

Sadar atau tidak, ibu-ibu atau masyarakat menengah kebawah yang setiap hari memakai minyak tanah itu telah menjadi korban atau dikorbankan oleh program pemerintah yang dipersiapkan sejak Juli 2006 yakni, konversi minyak tanah ke gas belum lagi akibat yang di timbulkan misalnya pengetahuan masyarakat terhadap pemakaian yang kurang paham sehingga menimbulkan sesuatu yang tidak seharusnya terjadi misalnya 'kebakaran'.

Untuk menyukseskan pemakaian elpiji, pemerintah menyiapkan tabung elpiji ukuran kecil yang harganya terjangkau oleh masyarakat. Jadi, elpijinya bukan pakai tabung yang besar kalau untuk masyarakat kecil, pemerintah menyiapkan tabung ukuran tiga kilogram. Ukuran tabung tiga kilogram ini sekitar Rp 12.000,00. Dalam perhitungannya, penggunaan elpiji ini jauh lebih murah ketimbang minyak tanah. Satu kilogram elpiji setara dengan 3 liter minyak tanah. Saat ini harga elpiji Rp 4.250,00/kg dan minyak tanah Rp 2.000 ,00 per liter. Dengan perkiraan yang matang tersebut pemerintah optimis dan yakin harga tersebut masih bisa terjangkau oleh masyarakat kecil.

Solusinya, menurut Sukma, pemerintah harus menata ulang kebijakan ini mulai dari tahap perencanaan. Pemerintah diharapkan jeli menyiapkan langkah-langkah antisipatif seperti sikap penolakan masyarakat. Pada tahap pelaksanaan, kebijakan ini juga harus dievaluasi secara periodik sehingga permasalahan-permasalahan yang muncul dapat segera diatasi. “Pada dasarnya mengubah suatu hal yang sudah membudaya itu memang tidak mudah, perlu strategi perencanaan yang matang,” ujar Sukma. (Ipin)